Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi Memberi hormat Kepada Guru-Guru Seluruh Indonesia.

Seminar Nsional IGI Gresik

Seminar Nsional IGI Gresik, 15 Mei 2016 di Auditorium Universitas Muhamadiyah Gresik

Maulid Nabi

Maulid Nabi Muhammad SAW di SMA Negeri 1 Menganti Gresik

Kegiatan SAGUSATAB IGI GRESIK

Pelatihan Optimalisai Penggunaan TAB Samsung A8

Kegiatan SAGUSABU

Launching Buku Catatan Cinta Untuk Ibu di LPMP Jatim

Hari Guru Nasional

Foto Bersama Siswa Setelah Upacara Peringatan Hari Guru Nasional di SMAN 1 Menganti Gresik

Kemah Karakter Bangsa

Kemah Karakter Bangsa di Malang Jawa Timur

Jumat, 22 Juni 2018

Anakku ranking ke-23!

Di kelasnya ada 25 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orang pun bertepuk tangan. Tapi anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya.

Didesak orang banyak,akhirnya dia menjawab,,
"Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua.
Dia pun menjawab , "Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang."

Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Nampak raut muka isteriku pun terlihat canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah isteriku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami,  tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23.

Kami memang sangat sayang pada anak kami ini,namun kami sungguh tidak memahami akan nilai di sekolahnya.

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya.

Anak kami tidak punya keahlian khusus, dia hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira. Dia seringkali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan, merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas berbentuk hewan masing-masing dan mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar.

Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan. Dalam soal itu tertera: SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI DAN APA ALASANNYA?
Dan jawaban dari semua teman sekelasnya sama, tak ada satu pun yang beda. Mereka serentak menuliskan nama anakku.

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian, "Anak bapak ini kalau bertingkah laku terhadap orang benar-benar nomor satu."

Tak berselang lama aku mencandai anakku dan berkata padanya, "Suatu saat kamu akan jadi pahlawan".

Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba-tiba menjawab, ""Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah; ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan."

Dia lalu melanjutkan "Ayah... Aku tidak mau jadi pahlawan. Aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan saja."

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin
menjadi seorang pahlawan, jadi orang-orang hebat atau orang terkenal. Namun anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak 'terlihat'. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat tapi dialah yang mengokohkan, dialah yang memberi makan dan dialah yang memelihara kehidupan yang lain.

~  ~  ~

Moral of the story:
Hidup itu bukan semata-mata untuk menunjukan siapa yang paling penting, siapa yang paling berperan atau siapa yang paling hebat. Hidup itu sederhana saja yaitu tentang siapa yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.

Selamat Pagi, _Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon ma'af lahir bathin_.
Jum'at 8 Syawl 1439 H.
💪

Ukuran Sukses

Copas dari Prof Sunaryo K

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya *“Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001)* yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi “best seller”, mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang :

1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, *ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain)*

Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.

2. Bagi orang Asia, *banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut*

Tidak heran bila *lebih banyak orang menyukai* cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu.

Tidak heran pula bila *perilaku koruptif* pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.

3. Bagi orang Asia, pendidikan *identik dengan hafalan* berbasis “kunci jawaban” *bukan pada pengertian*.
Ujian Nasional, tes masuk PT dll, semua berbasis hafalan.

Sampai tingkat sarjana, mahasiswa *diharuskan hafal* rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya *bukan diarahkan untuk memahami* kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia *dijejali sebanyak mungkin* pelajaran.

Mereka *dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit- sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).*

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia *bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika*.

Tapi *hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.*

6. *Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU).* Akibatnya *sifat eksploratif* sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan *keberanian untuk mengambil risiko kurang dihargai.*

7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, *bertanya artinya bodoh*, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8. Karena *takut salah dan takut dianggap bodoh*, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta Asia jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya Profesor Ng Aik Kwang *menawarkan beberapa solusi* sebagai berikut:

1. *Hargai proses*. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.

2. *Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban*.

_Biarkan murid memahami *bidang yang paling disukainya.*_

3. *Jangan jejali murid dengan banyak hafalan*, apalagi matematika.
Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihafalkan?

*Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya*.

4. *Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu*, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.

5. *Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko*.
AYO BERTANYA!

6. *Guru adalah fasilitator*, _*bukan dewa*_ yang harus tahu segalanya.
Mari akui dengan bangga kalau
KITA TIDAK TAHU!

7. *Passion manusia adalah anugerah Tuhan*...
sebagai orang tua kita *bertanggung-jawab untuk mengarahkan* anak kita _untuk menemukan passionnya dan mensupportnya._

_Mudah-mudahan dengan begitu, kita *bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi*_