Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi Memberi hormat Kepada Guru-Guru Seluruh Indonesia.

Seminar Nsional IGI Gresik

Seminar Nsional IGI Gresik, 15 Mei 2016 di Auditorium Universitas Muhamadiyah Gresik

Maulid Nabi

Maulid Nabi Muhammad SAW di SMA Negeri 1 Menganti Gresik

Kegiatan SAGUSATAB IGI GRESIK

Pelatihan Optimalisai Penggunaan TAB Samsung A8

Kegiatan SAGUSABU

Launching Buku Catatan Cinta Untuk Ibu di LPMP Jatim

Hari Guru Nasional

Foto Bersama Siswa Setelah Upacara Peringatan Hari Guru Nasional di SMAN 1 Menganti Gresik

Kemah Karakter Bangsa

Kemah Karakter Bangsa di Malang Jawa Timur

Minggu, 29 Desember 2019

PENSIUN TETAP PRODUKTIF


Kita sudah terpola untuk berpikir ingin hidup tenang di hari tua, duduk-duduk tanpa beban, hanya bermain dengan cucu, jalan-jalan ke sana ke mari*

*Kita ingin hidup di zona nyaman....*
Atau kita hanya berpikir menghabiskan masa tua
*hanya dengan shalat dan membaca Quran dari waktu ke waktu, tanpa kegiatan lain..*

*Itulah mindset kita* *itulah Fenomena yang terjadi di sekitar kita...?!*

Ketika kita belum memasuki usia pensiun,
baru mendekati atau memasuki usia 40 tahun,
*kita kerap sudah merasa bukan saatnya untuk aktif...*

*Kita kehilangan gairah....*
Bahkan mungkin kehilangan arah:
mau apa....,
mau ke mana...,
untuk apa...?

*Hanya ingin hidup tenang di Zona Nyaman...*

Hanya ingin bersenang-senang, tak ingin bergerak..

*Kita bahkan cenderung hanya ingin memikirkan diri sendiri,*
*makin tak peduli....*
*Kita merasa sudah saatnya istirahat..!!*

Tapi...,
*adakah Islam mengajarkan pola pikir semacam itu tentang hari tua..?*

Ingatlah...,
*Rasulullah memulai hidup baru di usia 40 tahun*
Demikian pula sahabat-sahabat beliau, seperti
Abu Bakar Siddiq yang lebih muda 2 tahun enam bulan dibanding Rasulullah

*Di Usia itu,*
Rasulullah dan para sahabat memasuki perjuangan baru,
*meninggalkan kenyamanan yang selama ini mereka rasakan...*

Harta,
*mereka infaqkan..*
Martabat manusia
*mereka perjuangkan*
Bukannya bersantai dan stagnan,
*mereka makin Aktif dan Dinamis dalam dakwah....!!!*

Di usia tua Rasulullah
*tidak sibuk dengan shalat dan membaca Quran saja...!!!,*
Mulai usia *53 tahun* justru beliau makin aktif membina hubungan dengan sesama manusia. Beliau terus berdakwah dan membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah.

*Tidak hanya hubungan dengan Allah, tapi juga hubungan dengan manusia*

Beliau makin bermasyarakat
*makin giat berdakwah & terlibat dalam kehidupan sosiaL*

*Artinya....,*
memasuki usia pensiun
*bukan alasan kita untuk melepaskan diri dari kehidupan sosial dan hanya sibuk dengan diri sendiri...*

Hingga akhir hayat, Rasulullah...
*tidak pernah diam dan tidak juga ingin beristirahat....*

Beliau juga tidak meninggal dalam keadaan kaya,
tidak dalam keadaan pensiun karena beliau tetap memimpin umatnya
*Pensiunnya beliau adalah kematian....*

Begitu juga sahabat-sahabat Rasulullah yang lain...
*Saya Pribadi belum pernah mendengar sahabat Rasulullah pensiun ketika Wafat*

Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, contohnya.
Bahkan Abu Ayyub al-Anshari brgkt  mnghadapi Byzantium pd usia *93 tahun.*
*Konsep pensiun yang umum dipahami masyarakat membuat kita lupa bahwa bertambah usia itu berarti kesempatan hidup kita makin berkurang.....!!!*

*Manusia SUKSES versi ISLAM itu menurut hadist adalah,*
*_“Manusia terbaik  di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya...!!!_”*

*Bertambah usia...,*
*kita harus makin merambah dunia berbagi dan menjadi sosok bermanfaat,*
bukan berpikir untuk hidup santai dan sekadar menghabiskan waktu dengan hal-hal tak jelas...!

Lagipula,
makin pasif seseorang
*makin cepat pikunlah dia*.

AlhasiL.....,
*jika memang kita ingin mempersiapkan hari tua,*
selain menyiapkan “kesehatan dan materi”

*yang lebih penting adalah menyiapkan apa yang bisa kita lakukan..*
*dakwah harus lebih semangat agar kita bisa bermanfaat bagi sesama di hari tua,*
*sampai hari kita menutup mata...*

Tak ada kata terlambat untuk memulai hidup baru.
*Tua,*
bukan alasan untuk putus asa
Merasa tua dan berpikir bukan saatnya untuk hidup aktif dan dinamis
*sepertinya bukan pilihan yang tepat..!*

Justru,
kita harus lebih hidup dan bersemangat

*Tidak ada kata Pensiun untuk menjadi manusia SUKSES  di mata Allah.*

*Harta tidak kita bawa mati, hanya amal kebaikan kita yang bisa menemani....*

*Semoga Allah SWT slalu melindungi kita semua ...*
*Âamiîn Yâ Robbal Al-'âlamîn 🤲*

Kamis, 29 Agustus 2019

KU BERMUNAJAT DI RAUDHAH

Ya Allah, Yang Maha Menyaksikan 
Aku berusaha masuk ke makam Rasululloh 
Berdesakan dengan susah payah 
Ya Allah, berikanlah aku waktu dan ruang untuk sholat di Raudhah ini 
Aku salah satu dari ummat yang amat dipikirkan Rasul ketika ia akan dipanggil Allah 
Ummati-ummati, katanya
Aku bergayut menempel  di jejakmu, ajaranmu, berenang dalam sunnahmu 
Mencari-cari terus mencari 
Aku solat dua rakaat, aku meminta disampaikan langkahku 
Ke Raudhan Aku pandangi , aku mencari-cari Tiang atau Ustuwanah Aisyah Tiang Al Wufud Tiang Al Muhlakah Tiang As-Sarir Tiang Al Haris dan Al-Muhris 
Aku tak tahu dimana letaknya Aku terdorong kiri-kanan muka-belakang 
Ribuan orang berebut mendekat ke makam Rasululloh 
Berdesakan, ya Allah ada yang saling sikut 
Aku tak kuasa Aku tersingkir 
Begitu dekat aku dengan Raudhah 
Tapi aku belum diterima, ini hari pertama aku di Masjid Nabawi 
Malam harinya aku memohon dengan sepenuh hati padaMu Allah 
Aku awali dengan sholat, sujud, doa, meminta, karena aku sudah berada di kawasan Raudhah 
Tak mungkin Engkau tak mendengar permohonanku 
Ya Allah:
 Karena Kau Maha Tahu, Maha Pengasih, Maha Pemberi Maha Kuasa dengan segala firmanMu 
Ya Jabbar 
Dan aku amat ingin memanjatkan doa dan solat di Raudhah 
Tempat makam Rasululloh SAW yang mengembangkan risalahMu 
Yang menerangkan kegelapan zaman 
Yang membawa langkah kami ke sini 
Ke sini Ya Rahim, maka Engkau pasti mengijinkan mauku 
Untuk berada di Raudhah 
Bahkan tempat sahabatku ingin berkirim salam padanya 
Ya Allah, jejakku sudah berada di karpet hijau 
Aku berada di antara mereka Sujud di Raudhah 
Aku berdoa dengan sejuta permintaan 
Menyatu padaMu dalam aliran airmataku Ya Allah .. 
Ya Allah Maha Besar Engkau.  
Ya Allah Aku berada di antara mimbar dan makam Rasululloh SAW 
Di taman di kebun surga Beliau SAW bersabda: 
Tempat di antara kuburku dan mimbarku adalah Raudhah di antara beberapa kebun surga. 
Mimbarku ini berada di atas telagaku. 
Ya Allah tolong tetapkan istiqomahku 
Kelak aku dan seluruh keluargaku ingin minum dari air telaga itu. 
Ya Allah…Ya Robb 


Madinah, 27 Dzulhijjah 1440 H Pukul 20.07 Waktu Madinah

Tawaf Wada'

Ya Allah:
Setelah 33 hari di Tanah Suci
Setelah lima Jum'at di Makkah
Berat rasanya perpisahan ini 
Ya Allah: 
Dengan berurai air mata
Kami tinggalkan Baitullah
Terima kasih atas jamuan yang indah 
Semoga semakin menguatkan cinta kami 
PadaMu Yang Maha Suci, 
dan 
Berikanlah kami kesempatan untuk kembali hadir ke Baitullahmu 


Mekkah, 25 Dzulhijjah 1440 H

Di Jabbal Rahmah

Ketika Adam dan Hawa bertemu kembali.
 Meski di bukit gersang ini.
 Cinta dan rindu mereka yg telah tercerai.
 Seketika tumbuh mekar lagi.
 Dan di Jabbal Rahmah yang penuh berkah ini.
 Kami meneguhkan kembali Cinta dan janji kami.
Agar tetap terus bersemi.
Sampai di Surga Nanti
 Jabal Rahmah, 27 Juli 2019

MENJUAL DUNIA DEMI MEMBELI AKHIRAT

Keberadaan Madinah sebagai cikal bakal kejayaan Islam, tak lepas dari kiprah sahabat Mush'ab bin Umair. Mush'ab merupakan keturunan bangsawan Qurays. Muda, kaya raya, tampan rupawan, selalu berpakaian mewah, badannya pun wangi. Lelaki sempurna. Tak ada orang Mekkah seperti dirinya. Saat Islam datang, Allah menurunkan hidayah kepadanya. Dia rajin mengikuti halqah pembinaan Nabi secara sembunyi-sembunyi di rumah Al-Arqam, dekat bukit Shafa. Hasilnya, dia berkembang menjadi sosok cerdas berwawasan luas. Ketika keluarga memergoki keislamannya, Mush'ab dikurung di rumahnya. Tanpa makanan dan pakaian layak. Siksaan fisik juga diberikan, hingga kulitnya mengelupas. Tapi cahaya iman telah menancap kuat di dada. Mush'ab bersikukuh pada keislamannnya. Dia lebih memilih menanggalkan semua kenikmatan dunia yang ditawarkan keluarganya, demi tetap bisa membela Allah dan Rasul-Nya. Allahu Akbar. Tanpa pakaian mewah, yang melekat di badan Mush'ab hanyalah burdah (sejenis kain kasar). Pernah ketika melihat Mush'ab lewat, Nabi pun menangis teringat akan kenikmatan yang dulu dia dapatkan sebelum memeluk Islam. Mush'ab dipilih Nabi untuk mengenalkan Islam di Madinah (dulu bernama Yatsrib), sebelum beliau hijrah. Hasilnya, penduduk Madinah berbondong-bondong masuk Islam. Menurut Al-Barra, Mush'ab itu seperti "rajulun lam ara mitslahu ka annahu min rijal al-jannah" (seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya, seolah dia lelaki dari kalangan penduduk surga). Mush'ab juga pembawa bendera Islam di medan peperangan. Dia gugur pada Perang Uhud di usia 40 tahun, bersama 70 syuhada lainnya. Jasadnya ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Tak ada kafan cukup untuk menutupi jasadnya, kecuali sehelai burdah. Jika ditutupkan kepala, terbuka kedua kakinya. Sebaliknya, bila yang ditutupi kaki, terbukalah kepalanya. Nabi memerintahkan menutup kepalanya, sementara kakinya ditutupi rumput. *** Apa yang terjadi pada diri Mush'ab bin Umair sangat berkebalikan dengan fakta kebanyakan masyarakat saat ini. Jika Mush'ab ikhlas menanggalkan kemewahan dunia demi bisa membeli kebahagiaan akhirat, sekarang banyak orang justru rela *menggadaikan agamanya demi harta yang sedikit*. Naudzu billah min dzalik. Di sini, di Jabal Uhud, kita diingatkan kembali untuk meneladani apa yang telah dicontohkan sahabat pilihan. Assalamu alaika ya Mush'ab bin Umair, ya qaidal mukhtar. Ya man atsbata qadamaihi 'ala ar-rimahi hatta ataahul yaqiin. (Salam sejahtera atasmu wahai Mush'ab bin Umair, wahai pahlawan pilihan, yang meneguhkan kedua kakinya di atas Bukit Rimah sampai ia gugur). Jabal Uhud Madinah, 29 Agustus 2019

PENGANTIN SATU MALAM YANG DIMANDIKAN MALAIKAT

Inilah saat yang dinantikan. Malam pertama sempurna bagi sang pemuda. Bersama wanita yang baru dinikahinya. Berdua mereka memadu kasih. Di malam indah itu. Mereguk manisnya cinta. Seperti tak ingin pagi datang menjelang. Tapi, mendadak ada seruan. "Hayya 'alal jihad... hayya 'alal jihaaaaad". Itu panggilan jihad. Kesempatan yang juga telah lama dinantikannya. Dengan penuh harap. Handzalah, nama pemuda itu, langsung lompat meninggalkan ranjang pengantin. Padahal di sana ada Jamilah, istri yang siap memberinya sejuta kenikmatan. Cinta besarnya pada Allah, telah mengalahkan cinta kecilnya pada istri terkasih. Setelah mengenakan baju perang yang telah lama disiapkannya, Handzalah langsung bergabung barisan tempur kaum muslimin. Siap menghadang pasukan Kafir Qurays yang datang menyerang Madinah. Menuntut balas atas kekalahan mereka dalam Perang Badar sebelumnya. Peperangan sengit tak terelakkan terjadi di Uhud. Karena jitunya strategi Rasulullah sebagai komandan perang, pasukan kafir yang jumlahnya lebih besar itu pun dibuat kocar-kacir. Tapi, kemenangan yang sudah di depan mata itu buyar seketika akibat ketidakpatuhan pasukan pemanah pada perintah sang komandan (selanjutnya baca catatan ke-5: Kemaksiatan Pangkal Kekalahan). Adapun Handzalah, tetap bertarung dengan garang. Dia hanya menghindari agar jangan sampai berduel dengan ayahnya sendiri, Abu Amir, yang berdiri di barisan kafir, demi menghargai jasa sang ayah. Handzalah mengincar Abu Shufyan, pemimpin utama pasukan kafir Qurays. Menurutnya, jika pemimpinnya bisa dikalahkan, itu akan melemahkan kekuatan pasukan musuh. Kaki kuda Abu Shufyan telah patah diterjang pedang Handzalah. Tinggal sekali tebas, pemimpin kafir yang sudah jatuh tersungkur itu bakal binasa. Tapi, mendadak muncul Syaddad bin Aus (yang saat itu masih kafir) dari arah belakang. Dia menghunjamkan senjatanya ke punggung Handzalah. Sang pengantin satu malam itupun syahid seketika. Usai kekalahan perang Uhud itu, para sahabat mengumpulkan jasad syuhada untuk dimakamkan. Tapi, tidak ada Handzalah. Jasad sang pemuda baru ditemukan di tempat yang agak tinggi. Yang aneh, dari tubuhnya masih menetes air. Tanah di situ pun basah. Sahabat ditugasi Nabi menggali informasi apa yang sebelumnya dilakukan Handzalah. Dari sang istri didapatkan jawaban, bahwa saat mendengar seruan jihad itu Handzalah langsung meninggalkan ranjang pengantinnya dengan masih dalam keadaan junub. Nabi menjelaskan, itulah penyebab para malaikat memandikan jenazahnya. Handzalah pun dijuluki Ghasilul Malaikat (lelaki yang dimandikan malaikat). *** Kisah ini kembali terngiang-ngiang di telinga, ketika saya mengikuti tour KBIH Semen Indonesia ke Jabal Uhud pada hari ketiga di Madinah (29/9). Ada 70 syuhada di pemakaman Uhud. Kaum muslimin yang tengah menjalankan ibadah haji atau umrah dianjurkan berziyarah ke makam syuhada ini. Sebab, seperti disabdakan Nabi, para sahabat itu laksana bintang-bintang; kepada siapa saja kita mengikutinya, bakalan mendapat petunjuk. Kepada Handzalah, kita pantas iri dan malu. Pemuda ini menyambut seruan Rabb-nya dengan bergegas. Tanpa berpikir panjang. Tidak ditimbang untung atau rugi, berat atau ringan, senang atau susah. Semua yang datang dari Allah langsung dipatuhi Handzalah. Itulah yang namanya taat tanpa syarat. Sementara kita, sayang sekali, belum sampai pada level itu. Masih sangat jauh. Karena kita sering menawar atau menimbang lebih dulu. Jika sesuatu terlihat menguntungkan maka kita akan melakukannya. Sebaliknya jika berpotensi merugikan, maka kita menjauhi atau menolaknya. Astaghfirullah. Madinah, 29 September 2019

KEMAKSIATAN PANGKAL KEKALAHAN

Alhamdulillah hari ini saya dan rombongan dari KBIH Semen Indonesia dapat ziyarah ke Jabal Uhud, saya tak henti mengagumi kejeniusan Nabi sebagai panglima perang. Penempatan pasukan pemanah di Bukit Rumat itu benar-benar sangat brilian. Jumlah kekuatan kaum muslimin dalam Perang Uhud saat itu hanya 700 pasukan. Sebelumnya berjumlah 1.000 tentara, tapi 300 di antaranya membelot kembali ke Madinah, atas provokasi tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Sementara lawan yang dihadapi adalah pasukan terlatih Kafir Qurays berjumlah 3.000 tentara. Dengan komposisi seperti ini, Nabi ingin melokalisir serangan lawan hanya dari arah depan saja. Sebanyak 50 pasukan pemanah sengaja ditempatkan di atas bukit untuk mencegah datangnya serangan dari arah belakang. Instruksi Nabi kepada pasukan pemanah yang dipimpin Abdullah bin Jubair sangat jelas. Apapun yang terjadi, apakah dalam posisi unggul atau terdesak, mereka tetap dilarang menuruni bukit. Sebelum diperintahkan turun oleh Nabi. Begitulah. Perang dahsyat tak terelakkan. Perbedaan jumlah pasukan dalam jumlah besar menjadi tidak signifikan. Sebab setiap kali serangan musuh dari belakang datang mendekat, ada hujan panah dari atas bukit yang memukul mereka mundur. Adapun serangan dari arah depan mudah diatasi pasukan kaum muslimin yang terkenal militan dan lebih mencintai kematian sebagai syuhada. Babak pertama, pasukan Qurays pontang-panting. Mereka menyerah kalah dan melarikan diri meninggalkan banyak harta (ghanimah) di lembah Uhud. Kemenangan kaum muslimin sudah tampak di depan mata. Pengulangan sukses besar dalam Perang Badar tahun sebelumnya sudah terbayang di benak mereka. Pasukan di lembah Uhud bersuka cita mengumpulkan harta ghanimah yang ditinggalkan musuh. Saat melihat itu, sebagian pasukan panah di atas bukit mulai goyah. Mereka ingin turun demi ikutan berburu harta ghanimah. Peringatan Ibnu Jubair agar mereka mematuhi perintah Nabi tidak digubris. Terjadilah kekosongan pos pasukan panah di atas bukit. Khalid bin Walid (saat itu masih kafir) memimpin pasukannya kembali memutar arah, lalu merebut pos strategis Jabal Rumat yang ditinggalkan pasukan pemanah. Dengan situasi ini, maka musuh dari arah belakang bisa merangsek maju menyerang. Sementara pasukan kafir yang tadinya melarikan diri juga telah kembali lagi. Jadilah pasukan kaum muslimin terjebak di lembah Uhud. Diserang musuh dari depan dan belakang. Kaum muslimin kalah. Sebanyak 70 pasukan gugur. Sementara di pihak kafir Qurays hanya 20 pasukan yang jadi korban. Apa pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari peristiwa Uhud? Pertama, CINTA HARTA DUNIA MEMANG MELENAKAN. Ikhwal peristiwa pada Perang Uhud ini diterangkan dalam QS Ali Imran 52, "Minkum man yuridud dunya wa minkum man yuridul akhirah" (di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia, dan ada yang menghendaki akhirat). Tapi Allah Maha Pemaaf, sebagaimana dijelaskan di penghujung ayat di atas, "Wa laqad 'afa ankum". Bagaimana dikatakan bahwa Allah telah memaafkan, bukankah dalam perang ini telah menelan korban hingga 70 syuhada? Sungguh, seandainya Allah tidak memaafkan, maka bisa saja seluruh pasukan kaum muslimin saat itu dibinasakan. Kedua, KEMAKSIATAN PANGKAL KEKALAHAN. Seandainya saja pasukan pemanah itu tidak bermaksiat pada Nabi dengan tetap siaga di posnya, tentulah kemenangan ada di pihak kaum muslimin. Ketidakpatuhan mereka pada perintah komandan perang berakibat sangat fatal. Kemenangan di depan mata buyar seketika diganti kekalahan yang memilukan. Ini persis seperti dijelaskan Al-Qurthubi saat menafsirkan QS Ar-Ra'd 11, "Innallaha la yughayyiru maa bi qaumin, hatta yughayyiru maa bi anfusihim" (sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka yang mengubah keadaan mereka sendiri). Allah telah siap memberikan kemenangan pada peperangan Uhud. Tapi, ulah maksiat sebagian kecil pasukan, telah mengubah kemenangan mereka sendiri menjadi kekalahan. Semoga ini menjadi ibrah bagi kita semua. Bahwa jika kita ingin dimenangkan Allah, maka tidak ada pilihan lain, kecuali harus bersih dari maksiat kepada-Nya. Sebab pertolongan Allah (nashrullah) tidak mungkin bercampur dengan kemaksiatan kepada Allah. Madinah, 29 September 2019

Rabu, 14 Agustus 2019

Kenangan Manis Armina

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar….Lailaha Ilallahu Allahu Akbar…Allahu Akbar Walillahilhamdu… “al-hajju ‘arafatun,” kata sang Nabi, bahwa Haji adalah Arafah. Maka, kita mulai catatan perjalanan haji ini dari Arafah, sebagaimana perjalanan hidup manusia. Dari Arafah ini, pertemuan nan dirindu itu berawal. Dari Arafah, nasab kita tersambung padanya. Mengapa? Karena, di Arafahlah Adam dan Hawa bersua. Dari Arafah, akhirnya cerita tentang kita bermula, dengan berjuta kisah dan makna. Di Arafah pula, sang kekasih Allah, Ibrahim, merenungi perjalanan hidupnya. Dan di Arafahlah, sang Nabi menyampaikan khutbah haji pertama, sekaligus terakhirnya. Khutbah yang begitu menyentuh, yang gemanya terus diwariskan berabad-abad, hingga kini, dan masa yang akan datang. ”Ala Falyuballigh al-Syahidz Minkum al-Ghaib,” kata Rasulullah. Bahwa orang-orang yang hadir di hadapan sang Nabi hendaknya menyampaikan apa yang disampaikan Rasulullah ke orang-orang yang tidak hadir. Dan Arafah tetap menjadi tempat nan dirindu hingga akhir zaman! Lautan manusia. Berjuta hamba bersimpuh di hadapan sang Maha. Menangis haru, dengan suasana sangat syahdu. Sebab, “Haji itu Arafah,” kata sang Nabi. Berkumpullah seluruh jamaah haji pada satu waktu, satu tempat, satu tujuan: menunaikan rukun Islam kelima! Maka, izinkan saya menulis pengalaman berhaji pada tahun 1440 H (2019), dimulai dari Arafah. Sebuah kenikmatan luar biasa, saat saya diberikan kesempatan untuk menunaikan rukun Islam ke-5. Tak pernah terbayangkan sama sekali, dalam pada saat itu saya akan berangkat haji. Kembali menuju Arafah, saya ingat sekali, saat itu adalah hari Sabtu di Arafah yang syahdu. Setelah di Arofah sorenya kami bersiap berangkat ke Musdzalifah untuk mabit. Kami ke Mina sudah berihram, bersiap menjalani prosesi haji empat hari ke depan. Untuk jamaah haji Indonesia reguler sepertinya tidak bermalam di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, tapi langsung ke Arafah. Untuk Mina, akan ada catatan tersendiri, mengingat 3 hari kami berada di Mina, mulai tanggal 10 Dzulhijjah hingga 12 Dzulhijjah karena mengambil nafar awal, sebelum thawaf ifadhah. “Labbaik Allahumma Labbaik…Labbaikalaasyarikalakalabbaik….” “Innal hamda…Wani’mata…” “Lakawalmulk….Laasyarikalaka…” Jujur, saat mengucapkan itu tiba-tiba air mata saya mengalir. Di depan maktab 25 di Mina, saya melihat lautan manusia berderet, bersiap menuju Jamarat untuk melempah jumrah. Ya Rabb, saya sekarang sudah sampai di rumah Mu! Ya Rabb, berjuta rindu hambaMu, engkau tampakkan kekuasaanMu, memberangkatkan hambaMu yang hina dan lemah ini, bersimpuh di hadapanMu dengan membawa berjuta dosa dan kesalahan. Ya Rabb, inilah hambaMu yang bergelimang dosa, yang masih engkau berikan nikmat bersimpuh di Baitullah.. Ya Rabb, jadikan haji ini haji yang mabrur, haji yang benar-benar engkau ridhoi, ijabah segala permintaan hambaMu “Labbaik Allahumma Labbaik…Labbaikalaasyarikalakalabbaik….” “Innal hamda…Wani’mata…” “Lakawalmulk….Laasyarikalaka…” Ya Rabb, inilah kami, Kami yang akan memenuhi seruanMu Tiada sekutu bagi-Mu dan kami insya Allah memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan begitu juga kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Dengan mantap, dan mata berkaca saya menaiki bus yang mengantar kami ke Mina. Tiba-tiba, di dalam bus menggema kalimat talbiyah.. Meleleh air mata ini. “Labbaik Allahumma Labbaik… “Labbaikalaa syarikalakalabbaik….” “Innal hamda…Wani’mata…” “Lakawalmulk….Laasyarikalaka…” Pemandangan begitu dramatis, air mata ini terus meleleh, dengan mulut berucap kalimat talbiyah. Pemandangan di luar bus, ribuan, ratusan ribu orang, jutaan orang menyemut, bersiap berangkat ke Arafah. Melihat orang berpakaian ihram putih-putih sepanjang perjalanan, diiringi terkadang kalimat takbir, dan talbiyah yang menggema, sebagaimana hadits nabi “Kami berangkat pagi-pagi bersama Rasulullah dari Mina ke Arafah. Dalam rombongan kami, ada yg membaca talbiyah, & ada pula yg membaca takbir. (HR. Muslim No.2252). Bus melaju melewati lautan manusia, melewati jalan layang, dan pemandangan Mina begitu dramatis, dengan lampu dan tenda-tenda di tiap maktab berderet sepanjang kiri, kanan, putih mengkilap. Di sinilah, jutaan jamaah haji akan menginap tiga hari setelah dari Arafah. Sekira jam 9-nan, saya dan rombongan maktab 25 tiba di Arafah. Memasuki kawasan ‘arafah’ kita akan menemukan plank besar, semacam baligo yang menandankan bahwa ‘selamat datang di Arafah’, dan dikelilingi tanaman-tanaman entah kurma, entah seperti tanaman yang cukup rimbun yang cukup banyak di Arafah. Di sana berjejer tenda-tenda semi terbuka, terbuka, atau ada yang tertutup. Ada spanduk dari mana jamaah-jamaah apakah dari kloter ini, atau haji khusus atau penanda. Sedangkan, jamaah rombongan kami, rupanya tidak ada spanduk-spanduk khusus. Kami sempat –lagi-lagi- salah masuk tenda, karena nantinya itu ada yang menempati kalau tidak salah dari rombongan haji khusus (ONH Plus). Walhasil, kami pindah ke sebuah tenda. Waktu Arafah adalah setelah shalat zuhur hingga matahari terbenam, itulah Arafah dan kita, jamaah haji diwajibkan wukuf di Arafah. Sebelum masuk zuhur, beberapa jamaah yang kelelahan tampak tidur-tiduran, karena persiapan nanti siang. “Yang mau istirahat bisa sekarang, nanti kita fokus wukuf,” kata beberapa ustaz. Saya pun berusaha mengingat tempat tenda kami berkumpul, melihat di mana toilet yang sudah dipenuhi jamaah haji dari pelbagai tempat di dunia. Padan arafah dipenuhi pasir-pasir, dan juga pohon juga sebagian paving untuk jalur pedestrian. Di atas pasir, didirikan tenda-tenda, yang memiliki celah. Terik matahari menggantung menyelusup ke dalam tenda-tenda jamaah. Satu tenda besar bisa diisi oleh 300 orang. Kalau di dalam tenda, suasana agak pengap, karenanya orang-orang banyak berjalan-jalan sebelum waktu wukuf Arafah. “Arafah yang Syahdu,” begitulah saya menamainya. Setiap orang yang pernah merasakan wukuf di Arafah, akan merasakan perasaan ‘Arafah yang Syahdu’ yang sulit terungkap. Hanya air mata dan hati yang terus tergedor yang dapat merasakannya. Bersimpuh sendiri, mematung, sebagaimana halnya sang Nabi duduk menangkupkan kedua tangannya dan mematung hingga gelap menjelang. Arafah yang syahdu, begitu membekas. Sulit diungkapkan :), berjuta cerita, berjuta makna. Menurut baginda Nabi, Haji adalah Arafah. Arafah yang merupakan rukun, adalah momen yang sangat penting dalam ritual ibadah haji. Arafah adalah puncak ibadah haji. “Dan saat Arafah, Allah membanggakan para jamaah haji di hadapan malaikat dan penghuni langit. Arafah adalah waktu ‘wisuda’ bagi jamaah haji. Singkat memang, hanya enam jam sajan waktu wukuf itu, namun begitu bermakna. Arafah mengajarkan kehidupan yang begitu singkat, dan memang begitulah memang kehidupan. Singkatnya waktu wukuf hanya dari zuhur hingga magrib, menandakan bahwa kehidupan kita yang singkat. Memasuki Arafah, jamaah ditentukan waktunya. Pun saat keluar, ada saat yang ditentukan. Menuju ke Arafah, yang dihitung sebagai wukuf, adalah saat mulai shalat zuhur pada tanggal 9 Zulhijjah. Usai shalat Maghrib, jamaah meninggalkan Arafah. Begitulah hidup kita. Ketika Allah menakdirkan kita lahir, maka lahirlah kita. Jika Allah menakdirkan kita meninggal, maka meninggallah kita. Arafah adalah gambaran jelas bahwa hidup kita akan seperti wukuf di padang Arafah. Kita akan lahir di waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Kita pun akan mati, di waktu yang telah Dia tentukan. Menjelang zuhur, sang Nabi dulu menyampaikan khutbah Arafah, yang begitu kesohor. Dan saat ini, di Arafah, kami pun menyimak khutbah Arafah dari ustadz Adhim Ustadz Adhim menyampaikan khutbah yang begitu menyentuh hati. 
Inti Khutbah Wukuf yang disampaikan ustadz Adhim adalah : 
1. Orang yang berhaji dimanjakan Alloh SWT 
2. Niat Haji hanya Lillah (hanya karena Alloh SWT) 
3. Hindari rofas, jidal dan fusuqa 
4. Haji Mabrur balasannya adalah surga 
5. Sebaik - baik dzikir dan do'a adalah di hari Arofah 
Seperti nasehat para ustadz, Arafah adalah saat kita merasakan kedekatan dengan Allah. Di Arafah, kita berusaha mengenal diri kita, bertafakkur diri. Ketika kita mencoba mengenal diri, maka saat itu pula kita tengah mencoba mengenal Allah. Di Arafah, kita juga menghisab diri, merenungi dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Kita menghitung amal yang begitu sedikit. Kita melihat masa depan, memikirkan apa yang bisa kita lakukan dengan amal dan ilmu yang sedikit ini. Kita menghitung dosa yang begitu banyak. Di Arafah, tangis kita tumpah. Terisak-isak bersimpuh pada-Nya. Arafah adalah tempat dan waktu yang sangat spesial di muka bumi. Hanya pada tanggal 9 Dzulhijjah. Di titik itu, orang boleh melakukan wukuf, yang hanya bisa dilaksanakan di Padang Arafah. Di Arafah, kita bertafakkur, yang berujung pada mengenal diri dengan baik, dan mengenali Allah. Mengenali setiap kekurangan diri, dan bertekad memperbaikinya usai Arafah. Mengenal Allah dengan baik, mengetahui secara persis bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia memiliki Nama-Nama yang baik, memiliki Kuasa di atas segala Kuasa, dan Kemampuan di atas segala Kemampuan. Dia yang akan menaikkan, menurunkan, membuka, atau menutup segalanya. Di Padang Arafah, kita akan merasakan kedekatan dengan Allah. Dan pada saat itu, seharusnya kita mendapat pemahaman lebih tentang diri kita. Kita akan terus bersimpuh, bersujud, malu kepada Allah, karena begitu banyak nikmat yang Ia berikan. Betapa sedikit amal yang kita lakukan. Dan pada saat yang sama, merasakan betapa banyak dosa yang kita lakukan. Arafah adalah tempat dan saat terbaik di dunia. Arafah dalah tempat di mana tangis kita tumpah, pengakuan diri menggelegak. Arafah, adalah saat dan tempat di mana kita tak memiliki dinding dengan diri kita sendiri. Pengakuan dosa-dosa, kekurangan diri, dan komitmen tinggi untuk memperbaiki diri. Usai khutbah, dan ditutup doa berurai air mata, kumandang azan mengalun syahdu. Khutbah dan shalat digelar di tiap-tiap tenda grupnya. Shalat digelar dengan jamak dan qashar. Ya Rabb,,,inilah hambaMu yang hina, kini berdiri, rukuk, sujud di Arafah….. Tak terasa, suasana begitu mengaduk-aduk emosi. Shalat yang begitu membekas. Dengan segala kesyahduan dan kerinduan akan Arafah. Bahwa setelah shalat, waktu itu tiba. Waktu dan tempat terbaik di dunia : Wukuf di Arafah.

Rabu, 29 Mei 2019

HUKUM SHOLAT JUM'AT BERSAMAAN DENGAN HARI RAYA (IDUL FITR /IDUL ADHA)
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun 2009, Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab _Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah_ karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :

_“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”_

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya _Bidayatul Mujtahid_ menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :

_Pertama_, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.

_Kedua_, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.

_Ketiga,_ tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.

_Keempat,_ zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.

*2.Pendapat Yang Rajih*

Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang _rajih_ (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, _rahimahullah_. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

*Hukum Pertama*, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

*Hukum Kedua*, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

*Hukum Ketiga*, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

*Hukum Keempat*, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.

Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.

*2.1. Keterangan Hukum Pertama*

Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :

صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

_"Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.”_ (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :

قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّامُجَمِّعُونَ

_“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.”_ (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda _“tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati”_ (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi _rukhshah_ (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, _rukhshah_ adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.

Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.

Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas _“man syaa-a an yushalliya falyushalli”_ (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah _manthuq_ (ungkapan tersurat) hadits. _Mafhum mukhalafah_ (ungkapan tersirat kebalikan yang tersurat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa _mafhum syarat_, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa _(ahlul badaawi atau ahlul ‘aaliyah)_ –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota _(ahlul amshaar / ahlul madinah)_ yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?

Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, _Nailul Authar_, 2/273)

*2.2.Keterangan Hukum Kedua*

Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi _"innaa mujammi’uun”_ (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).

Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

*2.3.Keterangan Hukum Ketiga*

Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal _(al fadhu al ashli)_, sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti _(badal)_, bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan _Istish-hab_, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.

Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

*2.4. Keterangan Hukum Keempat*

Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda _*"fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati”_ (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah _manthuq_ hadits. _Mafhum mukhalafah_-nya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.

Imam Ash Shan’ani dalam _Subulus Salam_ ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, _Subulus Salam_, 2/112)

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.

*3.Meninjau Pendapat Lain*

*3.1.Pendapat Imam Syafi’i*

Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota _(ahlul madinah/ahlul amshaar)_ .Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun _(ahlul badawi)_ yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.

Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam _Subulus Salam_ berkata :  “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, _Subulus Salam_, 2/112).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak _(mardud)_. Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah_ Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.

*3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah*

Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota _(ahlul madinah/ahlul amshaar)_ maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun _(ahlul badawi)_. Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut :  “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.

Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.

Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daraquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.

*3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah*

‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.

Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :

_Pertama_, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :

عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِبُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

_"Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.”_ (HR Abu Dawud).

_Kedua,_ shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

_Ketiga,_ yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan _(ihtimal)_ bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya _(muta`akhkhir)_. Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, _Subulus Salam_, 2/112)

*4.Kesimpulan*

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :

*Pertama*, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.

*Kedua*, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.

*Ketiga*, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.

Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. _Wallahu a’lam._

= = =

*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adala Pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1995. _Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh_. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.

Abu Abdillah As-Sa’dun, _Ijtima’ Al-I’dayni,_ (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.

Abu Hafsh Ar-Rahmani, _Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah_, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. _Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah)_. Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.

Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. _Subulus Salam_. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.

Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. _Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah)._ Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. _Asy Syakhshiyah Al Islamiyah._ Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.

———-. 1994. _Asy Syakhshiyah Al Islamiyah._ Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.

Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. _Taisir Al Wushul Ila Al Ushul_. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.

Ibnu Rusyd. 1995. _Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid_, Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.

Raghib, Ali. 1991. _Ahkamush Shalat._ Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.

Sabiq, Sayyid. 1987. _Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah)_, Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal

Syirbasyi, Ahmad. 1987. _Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah)._ Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal.